Ada sebuah percobaan yang dilakukan di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Percobaan ini tentang efek rasa sugesti. Pada sekumpulan orang yang sakit flu dibagi menjadi 2 kelompok. Yang satu kelompok diberi obat, yang dikatakan oleh peneliti tersebut sebagai obat yang mahal.
Untuk memperkuat rasa mahal, disertakan pula brosur-brosur yang menyebutkan harga sebijinya Rp 500.000. Sedang pada kelompok lain, dikatakan obat yang diberikan hanya obat generik. Murah hanya Rp 500 per biji. Setelah beberapa saat,mereka ditanyakan bagaimana perasaannya.
Ternyata kelompok yang dikatakan telah diberi obat mahal, mereka merasa agak baikan atau sembuh. Sedang kelompok lainnya, masih merasa sakit, belum ada perubahan. Padahal sebenarnya obat yang diberikan kepada kedua kelompok tersebut adalah sama. Inilah yang dikatakan sebagai ‘placebo effect’. Sebuah rasa sugesti. Sebuah perasaan lain dalam diri yang mempengaruhi penilaian kita di luar logika. Kasus di atas, sugesti itu muncul dari harga obat yang mahal. Obat dengan harga mahal mensugesti pasien menjadi merasa lebih cepat sembuh. Nah, saya tak tahu, tapi saya curiga hasilnya bisa berbeda kalau saya misal melakukan percobaan kecil-kecilan.
Ternyata kelompok yang dikatakan telah diberi obat mahal, mereka merasa agak baikan atau sembuh. Sedang kelompok lainnya, masih merasa sakit, belum ada perubahan. Padahal sebenarnya obat yang diberikan kepada kedua kelompok tersebut adalah sama. Inilah yang dikatakan sebagai ‘placebo effect’. Sebuah rasa sugesti. Sebuah perasaan lain dalam diri yang mempengaruhi penilaian kita di luar logika. Kasus di atas, sugesti itu muncul dari harga obat yang mahal. Obat dengan harga mahal mensugesti pasien menjadi merasa lebih cepat sembuh. Nah, saya tak tahu, tapi saya curiga hasilnya bisa berbeda kalau saya misal melakukan percobaan kecil-kecilan.
Misal anda tidak pernah minum kopi Starbuck Coffee yang harganya per cangkir Rp 30.000. Anda juga tidak pernah minum kopi Nescafe yang harganya cuma Rp 5.000 per cangkir. Lalu dilakukan ‘blind test’. Cangkirnya sama, anda tak tahu mana yang Starbuck dan mana yang Nescafe, terus anda disuruh minum keduanya. Setelah itu anda menentukan kopi mana yang lebih enak. Saya yakin, anda tidak bisa memilih mana yang lebih enak dengan cepat.
Namun ketika anda membeli sebesar Rp 30.000 untuk mendapatkan secangkir kopi Starbuck dibandingkan membeli kopi Nescafe yang hanya Rp 5.000 per cangkir, saya akan tahu jawaban anda bila ditanya kopi mana yang lebih enak. Anda pasti akan menjawab kopi Starbucklah yang lebih enak. Dalam kehidupan, kita selalu menghargai lebih pada sesuatu yang mahal, ‘the power of pricing’. Ternyata tanpa sadar terjadi ‘self fulfilling prophecy’.
Anda yakin pada yang anda beli lebih mahal adalah yang lebih baik. Karena itu anda bisa saja memanfaatkan hal ini sebagai strategi untuk menjual produk anda. Buatlah produk anda sedemikian rupa sehingga terasa wajar kalau djual mahal. Misal dari kemasan, promosi dan lainnya. Bila hal ini terjadi, produk anda dipersepsikan seolah-olah sebagai produk yang berkualitas tinggi.
Namun ketika anda membeli sebesar Rp 30.000 untuk mendapatkan secangkir kopi Starbuck dibandingkan membeli kopi Nescafe yang hanya Rp 5.000 per cangkir, saya akan tahu jawaban anda bila ditanya kopi mana yang lebih enak. Anda pasti akan menjawab kopi Starbucklah yang lebih enak. Dalam kehidupan, kita selalu menghargai lebih pada sesuatu yang mahal, ‘the power of pricing’. Ternyata tanpa sadar terjadi ‘self fulfilling prophecy’.
Anda yakin pada yang anda beli lebih mahal adalah yang lebih baik. Karena itu anda bisa saja memanfaatkan hal ini sebagai strategi untuk menjual produk anda. Buatlah produk anda sedemikian rupa sehingga terasa wajar kalau djual mahal. Misal dari kemasan, promosi dan lainnya. Bila hal ini terjadi, produk anda dipersepsikan seolah-olah sebagai produk yang berkualitas tinggi.
No comments:
Post a Comment